Menjadi guru itu mulia, tapi juga menjijikkan
Perhatian/Desclimer : Ini Hanya OPINI saya pribadi, anda boleh setuju atau boleh tidak, kalau tidak setuju balas juga dengan artikel bukan makian. Ini juga merupakan gambaran diri saya sendiri (saya sebagai guru) bukan bermaksud menyinggung guru lain atau pihak manapun. Supaya tidak tersinggung, setiap kata guru itu brarti Fadlan Fauzi.
Benar kata orang tua bahwa "menjadi guru adalah hal yang mulia, tanpa pamrih ia mengajar untuk mencerdaskan anak bangsa", itu dulu relevan, namun untuk sekarang apakah masih relevan?
Menjadi guru adalah suatu hal yang mulia itu saya setuju, dengan menjadi guru kita berperan untuk mencerdaskan anak bangsa, berusaha membasmi kebodohan, dan sembarang kalir itulah.
Namun mari kita membuka mata dengan sudut pandang yang berbeda.
1. Sekarang hampir atau memang tidak ada murid itu tidak naik kelas.
Seperti yang saya rasakan saat ini, mari coba kita lihat mana ada sih di era sekarang ada cerita murid kemudian tidak naik kelas?, bahkan yang lebih mirisnya lagi, apakah sekarang masih ada sekarang anak itu mendapatkan nilai warna merah? Jawabannya adalah tidak ada.
Kok tidak ada yang tidak naik kelas? Kok nilainya bagus semua? brarti muridnya pinter-pinter semua dong? Brarti muridnya paham semua dengan peajaran yang disampaikan guru? hahaha jawabannya adalah mana ada. Hampir semua nilai itu adalah bohong!, lantas siapa pembohongnya? Guru. Nilai ulangan hanya sebagian kecil saja siswa itu lulus atau sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Selebihnya adalah karya awuran dari gurunya. Jadi sekarang kondisinya surah buram (tidak jelas) mana yang siswa memang rajin belajar dengan siswa yang nilainya adalah suntikan atau bahkan tembakan.
Lantas pertanyaan berikutnya, loh kenapa kok guru bisa berbohong? karena dia tidak sanggup menanggung beban yang ada disekolah itu, yang ada disitem pendidikan itu, yang ada dimasyarakat itu.
Loh ada apa dengan sistem pendidikan? Yap, sistem pendidikan akan mengecap bahwa Lembaga Pendidikan yang mengasih nilai jelek, yang tidak menaikkan siswa maka dianggap Lembaga Pendidikan tersebut tidak berhasil mendidik siswanya.
Loh kenaa dengan hukum masyarakat? Yups, masyarakat adalah konsumen, jadi layaknya jualan kalau barang yang ada ditulisi label jelek maka pembeli tidak mau beli. Pendidikan sekarang sudah kayak jual beli barang di lapangan, aliasnya dengan guru memberi nilai jelek atau dengan guru tidak menaikkan siswanya maka sekolah akan dicap dengan masyarakat bahwa sekolah itu jelek.
Pendidikan sekarang, utamanya yang saya ketahui tidak jauh dengan namanya perusahaan, habis-habisan untuk mempromosikan produknya, entah bagaimanapun caranya yang penting konsumen (siswanya) banyak. Sehingga tak jarang sekolah mengedepankan kuantitas dibandingkan kualitas.
2. Dampak dari pemberian nilai palsu
Memang pada saat menyuntikan/menembak nilai memang benar siswa senang, tapi ketahuilah itu adalah akar dari matinya Kepakaran. Karena sudah terjadi pemburaman antara mana yang benar-benar pintar dan mana yang hasil pemalsuan maka yang akan menanggung adalah jenjang sekolah berikutnya, kita ambil contoh nilai si A pada mata pelajaran IPA 85 (tapi hasil suntikan guru) sedangkan IPS 80 maka sekolah berikutnya akan melihat ooh si A ternyata IPA nya besar maka ia berasumsi bahwa materi si A tentang IPA baik, dengan begitu si A masuklah ke jurusan IPA. Dan Booom terjadinya penampakan yang asli bahwa ternyata si A mata pelajaran IPA nya ketinggalan jauh. Miris...
Selain itu dampak negatif yang sangat dirasakan adalah siswa saat ini menjadi menyepelekan pelajaran, karena mereka yakin entah belajar ataupun tidak, entah rajin sekolah atau tidak, entah tekun atau malas-malasan, toh mereka nantinya kalau sudah waktunya kenaikan kelas pasti naik, walaupun mereka ulangan dapat 30, toh nanti diraport ditulis 75 atau kebih. Jadi disini fatalnya, pola pikir siswa sekarang berubah menjadi pemalas, lantaran mereka tahu bahwa mereka hanya perlu menunggu waktu, dan jika sudah saatnya ia akan naik kelas, akan lulus. Dan yang paling parah adalah dengan siswa tembakan yang tidak pernah belajar disekolah tapi diraport dan ijazah nilainya KKM atau bahkan lebih tinggi dari KKM.
Dan dampak yang terakhir dapat saya katakan bahwa Guru adalah mengajarkan Kebohongan. Secara alam bawah sadar ternyata kita sedang mencontohkan bagaimana berlaku curang, berlaku tidak jujur, berlaku takut denga penilaian orang lain, berlaku tunduk kepada sistem yang kotor, berlaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menjadi guru itu memang mulia, namun hanya pada proses pembelajaran, untuk penentuan nilai ia mengajarkan kebohongan. - Fafa
Ruang Kelas yang panas dengan hati yang gelisah, Rabu, 07/05/2025
Tidak ada komentar: